Selasa, September 30, 2008

30 Ramadhan 1429 H

Sampai juga di penghujung Ramadhan 1429 H.
AlhamduliLlah, sungguh besar nikmat Allah SWT yang telah dianugerahkan buat aku, istri dan kedua anakku.
Salah satu hal yang patut aku syukuri, Nasywa lebih baik dari aku dulu.
Aku puasa sehari penuh ketika kelas nol besar. Masih aku ingat, 10 hari pertama kala itu, aku puasa dhuhur, 10 hari kedua puasa ashar, dan di sisa 10 hari terakhir aku puasa maghrib.

Di empat hari terakhir Ramadhan 1429 H ini, Nasywa di saat masih TK A sudah mampu puasa sehari penuh. Ini tak lepas dari motivasi yang diberikan ummi'nya di hari ke-26 kemarin.
"Besok puasa maghrib Nasywa bisa, paling"

Kamis, September 11, 2008

Ditagih

Berempat, aku, istriku, Nasywa dan Umar tengah berada di ruang makan. Aku baru saja selesai menikmati buka puasaku.

“Bi, sekarang puasanya sudah berapa?”

Sebelum menjawab pertanyaan Nasywa itu, sempat aku melihat kalender yang tergantung di ruang makan untuk memastikan.

“Sebelas.”

“Berarti kemarin sepuluh?”

Aku masih belum ngeh dengan arah pertanyaan Nasywa. Yang terlintas di benakku adalah masalah matematika sederhana saja. Ternyata...

“Kalau sudah sepuluh kan berarti beli sepatu...”

“Sabtu aja, ya. Nanti pulang sekolah dijemput Abi terus kita beli sepatu.”

Nasywa ternyata tidak mau ditawar.

“Sabtu aja, nduk. Abi kan libur. Sekarang Abi capek baru pulang kerja.”

Istriku mencoba ikut membujuk. Tapi Nasywa tetap kukuh dengan permintaannya.

Akhirnya aku mengalah. Berdua kami menuju toko sepatu.

Rabu, September 03, 2008

3 Ramadhan 1429 H

Hari ini Nasywa masuk sekolah lagi, setelah dua hari pertama Ramadhan libur awal puasa.

“Bi, tadi teman-temanku ada yang nggak puasa,” cerita Nasywa dalam gendonganku sepulang aku kerja.

“Siapa saja?”

Nasywa menyebut beberapa nama temannya.

“Tapi Nasywa tetap puasa, kan, walau banyak temannya yang tidak puasa?”

Nasywa mengangguk.

SubhanaLlah. Aku daratkan beberapa ciuman di pipi Nasywa.

Selasa, September 02, 2008

2 Ramadhan 1429 H

AlhamduliLlah ada kemajuan. Nasywa puasa sampai Dhuhur.

Senin, September 01, 2008

1 Ramadhan 1429 H

Terkaget aku melihat jam dinding telah lewat dari pukul 03.00 dinihari. Segera aku bangkit dan membangunkan seisi rumah. Nasywa yang masih tertidur pulas aku gendong ke belakang.

“Ayo pipis dulu.”

Rupanya Nasywa masih malas-malasan, walau akhirnya mau juga masuk ke kamar mandi setelah beberapa kali aku mengulang perintah.

“Nasywa duduk sini.”

Aku dudukkan Nasywa di kursi ruang makan.

Maem sama apa?”

Nasywa tidak menjawab pertanyaanku, malah dia turun dari kursi.

“Lho, mau kemana?”

Nasywa menjawab pertanyaanku itu dengan tidur di lantai. Aku dekati dia.

“Nasywa nggak maem, tah?

Nasywa menggeleng.

“Iya, wis, kalau Nasywa masih ngantuk boleh tidur lagi, tapi nanti tetep puasa, ya?”
Nasywa mengangguk.

Sambil aku gendong kembali ke kamar tidur aku ingatkan kesepakatan Nasywa denganku.

“Nanti boleh buka jam 10.00, setelah itu puasa lagi sampai Maghrib.”

-oOo-

Hari ini aku sampai di rumah setelah pulang kerja sekitar pukul 18.45. Lebih cepat ½ jam dari biasanya karena memang jam istirahat dikurangi ½ jam selama bulan Ramadhan, namun total jam kerja tetap 8 jam.

Begitu masuk rumah langsung saja Nasywa dan Umar berebut minta aku gendong. Aku gendong Nasywa di sebelah kanan dan Umar di sebelah kiri.

“Tadi jadi puasa?”

Nasywa menjawab dengan anggukan.

“Pinter…!!!”

Aku ciumi pipi Nasywa.

Nasywa Puasa

Ramadhan 1429 H ini kami jadikan momen untuk mulai mengenalkan shoum atau puasa kepada Nasywa. Beberapa hari menjelang Ramadhan datang, bergantian atau bersama-sama, aku dan istriku memberikan motivasi kepada Nasywa untuk mau berpuasa.

-oOo-

Malam Ahad dua hari yang lalu kami berempat pergi ke toko sepatu. Kebetulan sandal istriku yang layak untuk menghadiri acara resmi sudah waktunya diganti. Di toko sepatu pertama yang kami datangi Nasywa mencoba memakai beberapa sepatu yang dipajang, sempat terlontar keinginannya untuk memiliki salah satunya. Namun dengan sedikit pengertian yang aku berikan Nasywa bersedia menunda keinginannya. Karena tidak mendapatkan model yang cocok, maka aku ajak istriku ke toko yang lain. Saat aku sudah ada di atas sadel sepeda motor, aku lihat Nasywa masih sibuk “memilih” sepatu yang ada di rak.

“Nasywa, ayo, kita lihat di toko yang lain!”

Di toko sepatu yang kedua kembali istriku mencari sandal yang cocok. Bertiga bersama Nasywa dan Umar, aku mengelilingi toko hanya sekedar untuk melihat model-model sepatu dan sandal yang dipajang. Sampai di etalase yang memajang sepatu dan sandal untuk anak-anak, Nasywa menunjuk salah satu sepatu.

“Bi, aku belikan sepatu pink itu, ya.”

“Ya, nanti lain kali.”

“Nggak, sekarang!!!”

Aku dekati Nasywa dan aku coba beri pengertian kenapa permintaannya harus tertunda.

Beberapa saat kemudian istriku mendapatkan sandal yang diinginkannya. Melihat itu sepertinya Nasywa iri dan kembali merajuk untuk juga dibelikan sepatu yang diinginkannya.

“Sudah wis gini, aja, kalau bintang Nasywa sudah sampai 200 lebih Nasywa dibelikan sepatu itu,” istriku mencoba menawar keinginan Nasywa.

“Sekarang kan masih sekitar seratus, jadi pokoknya Nasywa pinter dan nggak ngompol, pasti segera bisa membeli sepatu,” sambung istriku.

Akhirnya Nasywa sepakat dengan solusi itu.

Salah satu “penilaian” untuk setiap kebaikan, istriku terutama yang memang telaten, memberikan satu bintang pada rapor harian Nasywa. Hasil dari pengumpulan bintang itu tidak selalu bernilai materi, kadang malah hanya pelukan atau ciuman atau kalau pengin kita makan bareng-bareng di suatu tempat.

-oOo-

“Bagaimana, besok puasa, ya?”

“Nggak mau, Nasywa nggak mau puasa.”

“Gini, wis, kalau Nasywa mau puasa beli sepatunya ndak usah nunggu bintangnya dapat banyak.”

Ping satu, ya?”

“Minimal sepuluh kali, maka Abi belikan sepatu.”

Ping tiga, wis.”

“Ndak, sepuluh kali.”

Akhirnya Nasywa sepakat dengan ketetapanku.