Kamis, November 27, 2008

Awal yang Pertama

Pagi tadi ketika aku titipkan ke budenya sebelum berangkat kerja, Umar dalam keadaan terbangun. Sempat khawatir dia klayu, nangis minta ikut, ketika aku tinggalkan seperti yang sebelum-sebelumnya.

Setelah aku sampaikan banyak kalimat tentang aku harus kerja dan untuk itu dia tidak boleh ikut, boleh ikut kalau, misal, aku bepergian. AlhamduliLlah, Umar melepas kepergianku dengan sempat mencium tanganku dan melambaikan tangan.

Sabtu, November 01, 2008

Seseorang Di Sisimu

Saya menghentikan motor tiba-tiba ketika melihat sosok tua berjalan tertatih-tatih di depan gerbang perumahan Griya Asri Depok. Setelah parkir motor di tempat aman, saya pun menghampirinya.

"Mbah, mau kemana?”

Tatapannya kosong, bibirnya bergetar berusaha menjawab, “ke sana…” ia menunjuk ke arah perempatan jalan.

"Mau ngapain kesana?” tanya saya lagi.

“Ngamen…” suaranya makin bergetar.

Gemuruh hati saya lebih keras kali ini. Saya tatap secermat mungkin lelaki tua itu, mulai dari wajahnya hingga ke kaki. Namanya Mbah Dalim, ia asal Cirebon dan kini tinggal di Stasiun Depok Baru. Perhatian, yang dimaksud bukan ngontrak atau punya rumah di dekat stasiun, melainkan benar-benar tinggal di stasiun, ya di stasiun!

Usianya 88 tahun, ia tak punya isteri terlebih anak. Sebatang kara menyusuri jalan setiap hari dengan menjual suara parah nan lemahnya, mencoba berbisik kepada para pejalan kaki yang melintas sekadar bermimpi dilemparkan koin dan receh.

Jalannya tertatih-tatih, nampak sekali ia butuh perjuangan berat untuk mengangkat kakinya. Rupanya di kaki kanannya terdapat penyakit eksim, “sudah bertahun-tahun, saya tidak punya uang untuk berobat” kata Mbah Dalim tentang penyakitnya itu. Setiap 3-5 meter, ia berhenti melangkah, mungkin mengumpulkan tenaga dan mengambil nafas.

Suaranya sangat parau dan lemah, apa mungkin ia mengamen? Tetapi kotak karaoke besar yang dipanggulnya di punggung belakang sangat menjawab pertanyaan saya itu. Saya sempat mengangkat sebentar kotak itu, lumayan berat untuk saya, pastilah teramat berat untuknya.

"Kalau ada milik, sehari dapat enam ribu…” terang Mbah Dalim, menjawab pertanyaan saya, berapa yang didapatnya dengan mengamen. Ya, katanya, kalau ada milik, bagaimana jika tidak? Apa yang dimakannya? Pun ia mendapatkan uang ‘segitu’, bagaimana ia bisa hidup dengan uang yang teramat kecil bagi sebagian orang.

Langit bagai runtuh saat itu, mendung pekat terbanding. Banjir sudah air mata saya, seperti hujan terlebat yang pernah Allah turunkan, “kemana saja saya selama ini?”

Saya pun merogoh kantong, menyisakan sekadar untuk mengisi perut siang nanti, “Mbah, segera ke rumah sakit ya, obati kakinya. Juga ini ada sedikit untuk makan siang dan malam nanti”.

Mbah Dalim pun melanjutkan langkahnya, saya masih belum bisa bergerak dan mata ini terus mengikuti tubuhnya yang bergerak lamban. Bahkan saya terus mengikutinya dengan memperlambat laju motor, sempat saya menawarkan untuk memboncengnya sampai ke tujuan, “terima kasih, saya jalan saja”.

Hhh… saya menghela nafas panjang menyaksikan episode kehidupan ini.

***

Memiliki seseorang, entah itu suami, isteri atau sahabat, adalah anugerah terindah dalam kehidupan. Sayangilah ia, sebab kita akan merasakan arti kehadirannya tidak hanya saat ini, juga nanti disaat seperti yang tengah dijalani mbah Dalim.

Titip salam saya untuk seseorang di sisimu, katakan sekarang juga, “Saya bersyukur memilikimu”

Gaw
http://warnaislam.com

Sumber: http://gawtama.blogspot.com/2008/10/seseorang-di-sisimu.html