Selasa, Juni 24, 2008

In Memoriam, Pak Bendot

“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (QS. 35:11)

-oOo-

Tidak seperti biasanya, hari ini jam kerjaku maju dua jam dari biasanya yaitu pukul 05:30. Jadi, lepas sholat shubuh tadi aku sudah keluar dari rumah. Ini dilakukan karena pukul 12:00 siang nanti tempatku kerja mendapat giliran pemadaman aliran listrik, sementara perusahaan tidak memiliki generator sendiri.

Setelah menaiki tangga menuju office di lantai dua, dari balik kaca pintu masuk aku lihat wajah Mbak Kholisun, PGA Clerk. Baru saja mau meraih kartu check-clock yang ada di depan pintu, wajah Mbak Sun, begitu biasa kami memanggil, melongok dari dalam ruangan.

“Pak Bendot gak onok umure,” kata Mbak Sun dengan rona wajah penuh kesedihan yang mengatakan bahwa Pak Bendot, salah satu satpam di tempatku bekerja, meninggal dunia.

“InnaliLlahi wa inna ilaihi roji’un,” ucapku penuh kekagetan.

“Jam berapa meninggalnya?” tanyaku.

“Jam tiga,” jawab Mbak Sun singkat.

“Padahal tadi malam ba’da isya’ masih main ke rumahku, lho, Mbak,” sambungku.

“Masa, sih, Pak?” tanya Mbak Sun setengah tidak percaya.

-oOo-

Karena keasikan menginstal antivirus untuk komputerku di rumah, adzan isya’ tadi malam menjadi tidak terdengar. Tahu-tahu jam beker di depanku sudah menunjukkan hampir pukul 7 malam, artinya aku sudah ketinggalan jamaah di masjid.

Lewat dari pukul 19:15 aku menyelesaikan pekerjaanku dan mengambil air wudhu. Baru saja selesai menyeka sisa air wudhu, dari depan terdengar pintu pagar diketuk-ketuk. Aku buka pintu ruang tamu dan terlihat di depan pintu pagar Pak Bendot bersama istrinya yang tengah menggendong anaknya yang paling kecil.

Sudah lama Pak Bendot ingin silaturahim ke rumahku, bahkan seingatku saat masih tinggal di kontrakan yang pertama beliau beberapa kali bilang kalau ingin main ke konrakanku, jadi kurang lebih sejak 4 tahun yang lalu dan baru tadi malam terwujud.

“Mari Pak, silahkan masuk,” kataku kepada Pak Bendot sesaat setelah pintu pagar aku buka.

Dituntunnya sepeda motor memasuki halaman rumahku.

Monggo pinarak,” aku persilahkan beliau duduk begitu memasuki ruang tamu.

Sebenarnya aku sempat lupa kalau malam ini Pak Bendot mau berkunjung. Padahal tadi sebelum istirahat siang beliau sempat nelpon ke line meja kerjaku yang menanyakan alamat kontrakanku dan menyampaikan kalau ba’da maghrib akan bertandang. Untung saja aku belum segera berangkat ke Graha Candi sebagaimana rencanaku sebelumnya.

Buah tangan yang dibawa istrinya sempat ditaruh di lantai ruang tamu.

“Itu dibawa masuk,” kata Pak Bendot sambil menunjuk oleh-oleh yang beliau bawa kepada Nasywa yang tiba-tiba muncul.

“Tadi katanya ba’da maghrib mau ke sini?”

“Iya, Pak Zam, tadi soalnya ada yang harus saya kerjakan dulu,” jawab Pak Bendot.

“Tapi sekarang juga ba’da maghrib, kan, Pak?” tanyaku dengan nada bergurau.

Pak Bendot dan istrinya tertawa.

Setelah beberapa lama ngobrol dan menyampaikan maksud kedatangannya, Pak Bendot pamit untuk pulang.

“Terima kasih, lho, Pak atas kedatangannya,” kataku mengiringi Pak Bendot sembari membukakan pintu ruang tamu.

“Minta tolong, ya, Pak Zam,” kembali Pak Bendot menegaskan apa yang disampaikan tadi.

“Insya Allah,” jawabku singkat.

Setelah membuka pintu ruang tamu dan kami sudah berada di halaman, baru aku sadar kalau motor Pak Bendot yang diparkir persis di belakang motorku bertype dan berwarna sama.

“Lho, kembar, toh.”

Pak Bendot tidak segera ngeh dengan yang aku sampaikan barusan. Baru beberapa saat kemudian beliau paham yang aku maksud dan tersenyum.

“Pak Zam, minta tolong, ya” Pak Bendot memastikan lagi sesaat setelah men-starter motornya.

Inggih, Pak, Insya Allah.”

Minggu, Juni 22, 2008

Mata Yang Bening

Baru saja memasuki rumah saat Nasywa menyongsong kehadiranku.

“Bi lihat, mataku bagus,” Nasywa berucap sambil mengedip-ngedipkan matanya.

Aku tersenyum melihat gayanya yang lucu saat mengedip-ngedipkan matanya itu.

“Aku habis makan jus tomat, lihat mataku, bagus, kan?” kembali Nasywa mengedip-ngedipkan matanya.

Ndak tahu kok tiba-tiba Nasywa jadi mau makan jus tomat, padahal sebelumnya dia tidak pernah suka.

Nasywa Wisuda

Tak terasa hampir satu tahun Nasywa menempuh pendidikan formal di play group dan hari ini adalah saat wisuda kelulusan dia. Ada rasa yang membuncah dalam hatiku melihat bagaimana buah cintaku dan bidadari yang dikaruniakan Allah dalam kehidupanku menapak dalam kehidupan yang baru. Rasanya baru kemarin aku mendampingi istriku saat kelahiran Nasywa lebih dari empat tahun yang lalu.

“AlhamduliLlah, anak abi sudah besar,” gumamku dalam diam.

-oOo-

Sebelum menjalani prosesi wisuda, Nasywa mendapat jatah perform memainkan angklung.

“Bi, aku dapat yang si,” kata Nasywa suatu hari di pekan-pekan terakhir sekolahnya yang diisi dengan latihan angklung.

“Do..mi..do..mi..fa..sol..sol..si..do..si..do..si..sol..,” begitu Nasywa sering mendendangkan solmisasi lagu Gundul-gundul Pacul dalam banyak kesempatan.

Dan hari ini ketika acara itu dihelat, yang namanya anak kecil, bukannya alunan merdu yang bisa dinikmati, tapi malah bunyi-bunyi angklung yang asal dikocok. Birama, tempo atau apa saja yang terkait dengan teori kesenian yang aku dapat jaman sekolah menengah dulu tidak ada sama sekali.

Tapi yang penting dari semua itu adalah bagaimana mereka punya pengalaman tampil di depan orang banyak yang aku sangat yakin akan memberi warna tersendiri dalam kehidupan mereka nanti.

Minggu, Juni 15, 2008

Mulan

Adzan Isya’ sudah berkumandang lebih dari setengah jam yang lalu saat aku hampir menyelesaikan beberapa cucian basah yang harus aku gantung di tali jemuran. Dengan sedikit ragu-ragu Nasywa menghampiriku.

“Bi, sudah,” sejurus kemudian Nasywa membuka percakapan.

“Sudah dirapikan semua?” tanyaku memastikan.

“Sudah,” jawab Nasywa singkat.

“Pinter...!! Hebat...!! Abi senang punya anak sholihah yang pinter dan hebat,” pujiku.

Beberapa saat tadi sebelum aku naik ke lantai dua untuk menggantung cucian, Nasywa sempat menangis keras. Kompor menyala yang sedianya untuk membuatkan teh permintaan Nasywa aku matikan. Itu aku lakukan karena Nasywa berusaha ingkar janji dengan tidak merapikan lagi mainan yang berserakan di lantai.

“Bi, rambutku dikuncir,” kata Nasywa.

“Siapa yang nguncir? Ummi’, ya?” tanyaku.

“Iya,” jawab Nasywa singkat.

“Aku kayak Mulan...,” sambung Nasywa kemudian.

Duerr..!!! Aku terhenyak dan kaget. Serasa ada gelegar halilintar di dekatku.

“Nasywa tahu dari mana nama Mulan?” tanyaku penuh selidik sembari membayangkan sosok seorang artis.

Sebab walau bagaimanapun aku ingin anak-anakku tidak kenal apalagi punya keinginan merengkuh dunia penuh glamour yang sering ditunjukkan di TV.

“Dik Nina kan punya kasetnya,” jawaban Nasywa atas pertanyaanku terakhir.

Aku masih sedikit shock dan hampir tidak percaya.

“Mulan itu jahat, ya, Bi?” Nasywa menyadarkanku dari kekagetanku barusan.

“Jahat bagaimana?” tanyaku penasaran.

“Mulan kan punya pedang,” kata Nasywa.

Oalaaaa... ternyata...

Dengan rasa penuh kelegaan dan sembari tersenyum aku baru menyadari, ternyata Mulan yang dimaksud Nasywa adalah tokoh serial kartun karya Walt Disney.

Kamis, Juni 12, 2008

Anak Tangga Terakhir

Seusai sholat subuh tadi aku langsung mencuci pakaian kotor yang telah aku rendam sejak sebelum jam empat tadi, sementara istriku tidur lagi di mushola karena mengeluh punggungnya sakit. Sudah hampir 1 bulan ini semenjak pembantuku resign, aku yang mencuci pakaian dan istriku yang menyetrika.

Di tengah aku mencuci pakaian, Umar bangun dan bermain sendiri di ruang tengah, sedangkan kakaknya aku lihat tidur di lantai ruang tengah itu juga. Berbeda dengan kakaknya yang di usia 11 bulan sudah mulai berjalan, Umar yang di usia ke-14 bulan lebih tujuh hari pada hari ini masih “semangat” dengan merangkaknya.

Hampir jam enam kurang seperempat aku selesai mencuci dan aku taruh cucian basah ke dalam ember. Aku teringat kalau cucian kemarin belum aku angkat dan masih di lantai dua yang memang dibuat untuk menjemur cucian, makanya sebelum menjemur cucian basah aku harus mengangkat yang kering dulu. Sambil berjingkat aku menaiki tangga menuju lantai dua, khawatir Umar melihat dan bisa jadi ikut menuju ke lantai dua. Selama ini sih setiap Umar merangkak menaiki tangga ke lantai dua selalu dalam pengawasan paling tidak salah satu diantara kami bertiga, aku, ummi’nya atau kakaknya.

Selesai mengangkat pakaian kering aku segera menuju tangga untuk turun ke lantai satu. Alangkah terkejutnya aku ketika sampai di pintu lantai dua, kurang satu anak tangga lagi Umar sudah mencapai lantai dua.

“Ummiii’...!” teriakku.

“Lho..!, mana Umar?” kata istriku yang dari lantai dua aku lihat terbangun dan kaget mencari-cari Umar.

Istriku segera tertawa melihat aku membopong Umar di tangan kananku sementara tangan kiriku mengepit cucian kering.

Bos Pengemis Tinggal Nikmati Hidup

Kalau sudah begini jadi bingung, pas ada orang menengadahkan tangan untuk meminta-minta, terbersit dalam pikiran untuk memberi apa tidak?

Sebab bukan tidak mungkin yang terjadi adalah, ibarat pepatah, nguyahi segoro (Jawa: menggarami lautan). Bagaimana tidak, pendapatan mereka satu pekan boleh jadi lebih banyak dari yang saya dapat dalam satu bulan.

-oOo-

Jawa Pos, Kamis, 12 Juni 2008

Bos Pengemis Tinggal Nikmati Hidup

Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya.

---

Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.

Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.

Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.

Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.

Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.

***

Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik.

Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.

Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ''Yang penting halal,'' ujarnya mantap.

Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.

Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. ''Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,'' ungkapnya.

Karena mengemis di Bangkalan kurang ''menjanjikan'', awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah.

Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ''bakat'' Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat.

Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ''Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,'' ungkapnya bangga.

Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ''Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),'' tegasnya.

Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ''Kami berpencar kalau mengemis,'' jelasnya.

Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.

***

Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.

Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ''Pokoknya sudah enak,'' katanya.

Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,'' kenangnya.

Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.

Cerita tentang ''keberhasilan'' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng.

Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,'' tegasnya.

Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur.

Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.

Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.

Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan...

***

Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.

Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan.

Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,'' ucapnya.

Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,'' katanya.

Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti... (ded/aza)