Sabtu, Maret 29, 2008

Permintaan Yang Mahal

Pagi tadi ada wawancara orang tua calon wali murid di TKIT Bina Insan Cendekia dimana Nasywa kami daftarkan. Karena istriku harus mengajar murid-muridnya, maka kami datang agak terlambat dari jadwal pukul 08.00.

Menjelang pukul 09.00 wawancara untuk aku dan istriku selesai.

“Nasywa ikut Ummi’ ke SD apa pulang sama Abi?” tanyaku ke Nasywa saat motor mau aku jalankan.

“Di rumah sama Abi,” jawab Nasywa.

Setelah mengantarkan istriku ke tempatnya mengajar, aku dan Nasywa langsung pulang ke rumah. Sampai di rumah aku lihat sesuatu tergeletak di atas meja ruang tengah dan setelah aku dekati ternyata kartu pos yang dikirim keponakanku, Dani, dari tempat dia tinggal sekarang, Perth-Australia. Selesai aku baca isi suratnya, kartu pos itu langsung aku taruh di atas kulkas dekat pesawat telepon.

Jam dinding baru saja lepas dari pukul 5 sore. Istriku tengah ada acara pengajian di kampung sebelah. Aku di rumah menjaga Nasywa dan Umar.

“Bi, lapar,” rengek Nasywa.

“Cuma ada nasi, lho, Nduk. Sotonya tadi habis. Kita telpon Ummi’, yuk, biar nanti sebelum pulang dibelikan masakan,” kataku.

Nasywa mengangguk.

“Nasywa yang nelpon sendiri, ya,” pintaku.

Kembali Nasywa mengangguk dan berdua bergegas menuju arah kulkas dimana pesawat telepon ada di atasnya. Aku ambilkan kursi plastik untuk pijakan Nasywa. Dipencetnya urutan nomor Flexi Ummi’nya yang dia hapal di luar kepala. Aku juga ikut mendengarkan dengan mendekatkan telingaku ke kepala Nasywa, tidak ada nada sama sekali, ternyata Nasywa mencet tombolnya kurang keras. Aku bantu mengulang memencet tombol telepon. Dan setelah tersambung dan menyampaikan maksudnya, ditutupnya kembali gagang telepon.

“Ini apa, Bi?” tanya Nasywa sambil memegang kartu pos yang memang baru dia lihat sekarang.

“Kartu pos, dari Mas Dani,” jawabku.

Diperhatikannya gambar yang ada di kartu pos itu.

“Ini hewan apa, Bi?” kembali Nasywa tanya sambil menunjuk gambar sebelah kanan.

“Koala, eh bukan, kangguru,” jawabku.

“Bi, kapan-kapan kita berenang di sini, ya,” kata Nasywa saat menunjuk gambar sebelah kiri.

“Insya Allah, amiiinnnn...,” jawabku singkat sambil ketawa dan bergumam dalam hati, "Mahal amat permintaanmu, Nduk."

Sabtu, Maret 22, 2008

Memang Harus Begitu Jadi Anak Abi

Mandiri dan berani.


Itulah dua hal dari sekian banyak nilai-nilai positif yang ingin aku dan istriku tanamkan ke Nasywa dan adik(-adik)nya. Mulai dari hal sederhana, mandi dan ganti baju sendiri misalnya, sampai nanti ketika tiba waktunya, misalkan, harus membenahi kamar tidurnya sendiri.

Aku dan istriku tanamkan keberanian, seperti pernah di usia 3,5 tahun, Nasywa dibekali sejumlah uang dan di suruh masuk ke mini swalayan sendiri untuk belanja jajanan yang diinginkannya, sementara aku dan istriku mengawasi dari luar.

Nduk, abi mau mengantarkan sepeda motor Pak Wartono sekalian ummi’ mau pinjam LCD Projector, ikut, gak?” tanyaku ke Nasywa yang lagi asik main puzzle di dalam tenda yang baru dibeli dua hari lalu.

“Nggak, Nasywa di rumah saja,” jawab Nasywa.

“Dedek juga ikut. Nasywa di rumah sendiri berani, tah?” kembali aku tanya.

“He-e...,” jawab Nasywa singkat.

“Pintu abi kunci dari luar, ya?”

“Iya.”

Sore ini kali kedua Nasywa berani ditinggal sendirian di rumah. Yang pertama senin pekan yang lalu ketika pagi hari Umar dan ummi'nya mengantarkan aku ke rumah Ade, teman kerjaku, untuk bareng-bareng berangkat kerja. Karena dia minta ikut tapi belum mau mandi, maka ketika aku berikan pilihan boleh tidak segera mandi tapi tinggal di rumah, Nasywa memilih tinggal di rumah.

Hampir setengah jam kemudian kami bertiga pulang. Aku buka pintu rumah dan beriringan dengan istriku mengucapkan salam.

Bukan jawaban salam yang dilontarkan Nasywa, tapi teriakan Nasywa memanggilku dari dalam kamar mandi.

“Abiii... sudah...!!”

“Nasywa ngapain?” sahutku.

“Ee’...!”

Segera aku menuju ke kamar mandi yang ada di dalam kamar tidur depan. Sebelum masuk sempat aku lihat kursi plastik ada di bawah switch untuk menyalakan lampu kamar mandi. Rupanya tadi Nasywa mengambil kursi dari kamar belakang dan menggunakannya untuk meraih tombol lampu yang memang jauh di atas jangkauannya. Sampai saat ini, untuk finishing BAB Nasywa memang masih perlu dibantu.

Belum sampai masuk kamar mandi dan belum terlihat Nasywa sempat aku tanya.

“Tadi ngambil kursi dan nyalakan lampu sendiri?”

“Iya,” jawab Nasywa singkat.

“Hebat anak abi,” pujiku.

Satu langkah lagi menjelang pintu kamar mandi kembali aku dengar suara lantang Nasywa.

“Ee’-nya satu jatuh di celana...!”

Wadoww...

Senin, Maret 17, 2008

Jejak Pertama

Baru saja masuk rumah setelah seharian kerja. Nasywa sedang main di depan rumah tetangga, sedang istriku dan Si Kecil Umar ada di ruang TV.

Sembari melepas lelah aku ikut duduk di karpet ruang TV sambil nonton OB. Tidak berapa lama Nasywa masuk rumah dan langsung duduk di pangkuanku.

Tiba-tiba dengan suara agak keras istriku bilang, “Ah... bisa... bisa...!!!”

Pandanganku yang semula fokus ke Nasywa langsung menoleh ke arah istriku dan Umar. Ternyata untuk pertama kalinya, beberapa saat Umar bisa berdiri tanpa berpegangan. AlhamduliLlah.

Senin, Maret 03, 2008

Today is our special day


Happy 6th anniversary to you and me…

Sabtu, Maret 01, 2008

Dokter Djihad

Pagi ini aku tengah memandikan Umar saat dari belakangku istriku memanggilku.

“Mas..!”

“Apa”

“Kemarin pulang sekolah Nasywa cerita kalau besar nanti ingin menjadi dokter gigi, terus ada temannya yang pengin jadi dokter anak.”

Sejenak istriku menghentikan ceritanya.

“Terus adek jelaskan, iya… dokter memang ada macam-macam. Ada dokter gigi, dokter anak, dokter bedah… Belum selesai adek melanjutkan Nasywa memotong.”

“Dokter Djihad…,” kata Nasywa.

Dokter Djihad adalah nama Dokter Spesialis Anak yang sempat merawat Nasywa sewaktu kena typhus di 3 minggu pertama ramadhan kemarin.