Kamis, Mei 29, 2008

Deg-deg-an

Baru saja aku menutup dan mengunci pintu ruang tamu selepas dua tamuku, Koko dan Pak Istijab, hilang dari pandangan.

“Bi, gendong...,” pinta Nasywa kepadaku.

Aku angkat dan kugendong dia.

“Sudah besar kok masih minta gendong,” kataku sesaat setelah dua tangan Nasywa melingkar di leherku. Nasywa cuma menyeringai mendengar kalimatku.

Aku tutup pintu samping yang masih terbuka. Di sisi depan pintu berjajar sandalku dan sandal istriku.

“Abi itu senengnya semua rapi dan bersih. Coba tadi Nasywa mau melepas sandal di luar atau waktu melepas di dalam rumah tadi segera dirapikan dan ditaruh di rak sepatu tentu Abi gak perlu rame,” kataku saat Nasywa masih dalam gendonganku.

“Aku tadi deg-deg-an,” ucap Nasywa dengan gaya manjanya.

“Deg-deg-an kenapa?” tanyaku.

“Waktu Abi marah tadi,” jawab Nasywa.

“Makanya kalau ndak kepingin Abi marah, apa yang Abi perintahkan dan Abi tahu Nasywa mampu melakukan ya segera dilakukan. Ndak pake ditunda-tunda apalagi sampai mukul Abi segala,” kataku dengan sedikit tersenyum karena untuk pertama kalinya aku dengar kata deg-deg-an keluar dari mulut Nasywa.

-oOo-

Sore ini selepas pulang kerja aku segera beranjak ke kamar mandi, mumpung adzan maghrib belum berkumandang. Selangkah di dalam kamar mandi pandanganku tertuju ke tempat sabun yang ternyata kosong. Aku keluar lagi.

“Sabun mandi dimana?” tanyaku ke istriku.

“Di tempat sabun di belakang,” jawab istriku.

“Air sudah mengalir, tah? Dari jam 3 tadi mati, lho,” sambung istriku.

Aku buka kran di dekatku dan ternyata air tidak mengalir. Bak mandi pun ternyata kosong.

Sayup-sayup aku dengar gema adzan maghrib.

“Abi mau ke masjid Nasywa ikut, tah?” tanyaku ke Nasywa.

“Ikut,” jawab Nasywa singkat.

-oOo-

Pulang dari masjid terlihat langit mulai gelap ketika aku memasuki halaman rumah kontrakanku. Aku matikan mesin Yamaha Vega R-ku untuk kemudian turun setelah aku pasang standard penyanggah dan membuka pintu samping. Aku tuntun sepeda motor memasuki rumah, sementara Nasywa masih duduk di jok. Dari ruang tengah terdengar Umar tengah bercanda dengan Ummi’nya. Mendengar itu Nasywa cepat-cepat turun dari motor sesaat setelah motor aku parkir di dalam rumah.

“Nasywa, sandalnya kok ditinggal begitu saja? Diambil terus ditaruh di tempatnya,” ucapku ketika melihat Nasywa melepas sandal di samping sepeda motor dan terlihat segera beranjak ke dalam.

“Eee...,” respon Nasywa dengan nada enggan.

Beberapa kali kalimat perintah yang sama aku utarakan ke Nasywa, dan dia tetap bersikukuh tidak mau.

“Ya sudah, kalau tidak mau menaruh di tempatnya Abi buang saja,” kataku sedikit mengancam.

“Ndak mau..!!”

Kembali kalimat penolakan muncul dari mulut mungil Nasywa, bahkan kali ini dia berusaha memukulku.

“Siapa yang mengajari mukul-mukul?” tanyaku dengan nada agak tinggi sambil mencoba menepis pukulan-pukulan Nasywa itu.

Mungkin karena badanku masih terasa gerah karena belum mandi, sehingga emosiku tersulut. Aku tendang sandal Nasywa ke arah luar dimana pintu masih terbuka.

“Hwaaa...!!!” meledaklah tangis Nasywa.

Selasa, Mei 20, 2008

Kamis, Mei 15, 2008

Dur dan Duka Palestina

Dur dan Duka Palestina

Selasa, 13 Mei 08 08:28 WIB

Sumber: eramuslim.com

Illan Pape, sejarawan Israel, pernah memaparkan bagaimana cara yang dilakukan teroris Zionis-Yahudi untuk mengusir bangsa Palestina dari rumah dan kampung mereka di tahun 1948. Kala itu bangsa Palestina masih mendiami sebagian besar tanah airnya, di saat bersamaan, orang-orang Zionis-Yahudi dari segala penjuru dunia didatangkan oleh komplotan teroris Zionis Internasional ke tanah Palestina untuk mengusir orang-orang Palestina dan mendirikan negara Yahudi di sana.

“Salah satu cara orang-orang Yahudi untuk mengusir rakyat Palestina dari tanah dan kampungnya adalah dengan mengepung desa mereka dari tiga arah. Satu arah dibiarkan terbuka. Setelah dari tiga sisi dikepung, orang-orang Yahudi yang bersenjata itu menembaki orang-orang Palestina, siapa saja. Tujuannya adalah untuk menimbulkan ketakutan sehingga mereka, orang-orang Palestina itu, keluar dari rumah-rumah mereka dan meninggalkan kampung mereka. Cara-cara ini biasa dilakukan pada malam hari tatkala orang-orang Palestina tengah terlelap sehingga ketika mereka berlari meninggalkan rumahnya, mereka tidak membawa bekal apa pun.”

“Setelah desa berhasil dikosongkan, maka orang-orang Yahudi itu saat itu juga menduduki wilayah tersebut dan mengklaim tanah itu sebagai tanah milik orang Yahudi. The Homeland.”

“Selain cara mengepung dari tiga arah, orang-orang Yahudi juga menggunakan cara pengepungan empat arah. Jika cara ini yang dipakai maka yang terjadi adalah pembantaian terhadap seisi desa. Orang-orang Palestina, besar-kecil, tua-muda, dibantai dan dibunuh. Setelah semuanya menemui ajal, maka desa itu pun diduduki oleh orang-orang Yahudi dan diberi nama dengan bahasa Ibrani, ” ujar Pape yang atas kejujurannya ini menuai kecaman dari banyak tokoh Israel dan dianggap sebagai sangat berlebihan.

Di saat-saat itu, ada tiga organisasi teroris Israel yang terkenal yakni Stern, Haganah, dan Irgun. Dengan cara teror, pembantaian, pemerkosaan, kriminal, inilah “negara” Israel didirikan. Dan ironisnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa merestuinya. Padahal, apa yang dilakukan Israel adalah ilegal dan kriminal.

Dur Peringati Berdirinya “Negara” Israel

Sepanjang tahun, setiap Mei dirayakan oleh orang-orang Palestina dan juga orang-orang Israel. Bangsa Palestina memperingati sebagai momentum pengusiran mereka dari tanah airnya (Palestine Nakba), sebuah momentum yang sangat pedih dan pahit, yang harus dibayar dengan nyawa dan darah jutaan bangsa Palestina sampai sekarang.

Sedang orang-orang Zionis-Israel merayakannya dengan penuh sukacita dan menganggap momentum itu sebagai hari kemerdekaan bagi negara mereka.

Orang waras yang tidak pernah makan bangku sekolahan pun, asal masih punya nurani, akan berdiri di sisi bangsa Palestina dan mengecam orang-orang Israel. Tapi sayangnya, seorang Abdurahman Wahid malah memilih bersama orang-orang Israel. Bahkan Dur menyatakan akan menghadiri peringatan hari kemerdekaan “Negara” Israel.

Dur pun pergi ke Amerika Serikat memenuhi undangan organisasi Zionis Yahudi “Simon Wiesenthal Center” untuk menerima penghargaan The Jewish Medal of Varlor, sebuah medali penghargaan bagi orang-orang yang terbukti berani menjadi tameng bagi kepentingan Zionis-Yahudi di dunia.

Dalam wawancara dengan Hidayatullah, tokoh HAMAS Musa Abdul Marzuq mengomentari kelakuan Dur ini dengan mengatakan, “Sungguh memalukan! Ini sama saja dengan merayakan dan mensyukuri pembantaian yang menimpa rakyat Palestina yang dilakukan oleh kaum Zionis-Israel!” Namun apa pun yang terjadi, ya inilah sosok Dur. (rz)

KPK dan Angpau Pernikahan

Jawa Pos, Kamis, 15 Mei 2008,

KPK dan Angpau Pernikahan

Langkah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) memeriksa angpau pernikahan Ketua MPR Hidayat Nurwahid layak diapresiasi. Tentu, apresiasi serupa juga layak diberikan kepada Hidayat yang mengizinkan KPK memeriksa angpau yang dia terima. Dengan izin itu, dia telah memberikan ruang yang luas kepada KPK untuk masuk ke "ruang pribadinya".

Langkah KPK mapun kesediaan Hidayat merupakan dua hal yang sangat positif. Dua hal itu akan menjadi modal sangat penting dalam mencegah terjadinya gratifikasi dalam sebuah hajatan yang digelar seorang pejabat negara.

Memang, memberikan angpau kepada pejabat yang menggelar hajatan bukanlah satu-satunya jalan untuk memberikan hadiah. Memberikan angpau adalah cara "tradisional" dan "kurang elegan". Tentu ada cara lain yang lebih canggih dan lebih "terhormat". Yakni, dengan cara transfer rekening atau memberikan bantuan dalam bentuk membereskan ubo rampe hajatan, seperti membereskan biaya sewa tempat resepesi atau membayar biaya katering.

Meski demikian, mengawasi angpau yang dimasukkan ke dalam "kotak amal" tetaplah penting. Sebab, bisa saja seseorang memberikan angpau dalam bentuk cek atau uang tunai berbentuk dolar Amerika. Kendati sederhana -karena dimasukkan dalam amplop- nilainya bisa sangat besar.

Selain itu, konon, memang ada beberapa pejabat yang sengaja sering menggelar hajatan pernikahan dengan harapan mendapatkan angpau dari para kolega. Bahkan, saking rakusnya pejabat itu terhadap yang namanya angpau, saudara jauh pun -yang semestinya bukan menjadi tanggung jawabnya- dia nikahkan dan dia bikinkan resepsi pernikahan dengan undangan yang sangat banyak.

Kasus itu tentu terdengar sangat norak. Tapi, bukankah dalam masalah uang memang banyak orang yang berperilaku norak, bahkan supernorak? Karena itu, langkah KPK memeriksa "kotak amal" para pejabat yang menggelar hajatan nikah memang diperlukan. Kendati tidak sepenuhnya bisa menutup alur gratifikasi, setidaknya bisa mengurangi. Terutama bagi pejabat yang bertipe norak tersebut.

Idealnya, seorang pejabat -termasuk Hidayat- ketika menggelar resepsi pernikahan, membebaskan para undangan dari "kewajiban" membawa angpau. Yakni, dengan memberikan catatan di dalam undangan yang diedarkan agar para tamu tidak membawa angpau atau kado. Atau dengan cara tidak menyediakan "kotak amal" tempat angpau.

Memang, seperti yang disinggung Hidayat, dalam konteks Indonesia, memberikan angpau kepada sohibul hajat (tuan rumah) adalah sebuah tradisi yang sulit dihilangkan. Tapi, itu bukan berarti tidak bisa dihilangkan. Bagi orang-orang yang sudah berkecukupan materi -termasuk para pejabat- tradisi itu lebih baik ditiadakan. Sebab, spirit angpau adalah membantu atau meringankan beban si tuan rumah. Bila si tuan rumah sudah mampu, untuk apa dibantu?

Atau, bisa saja tradisi tersebut tetap dilestarikan, namun dikelola, dibelokkan untuk kepentingan kaum papa. Yakni, tetap menerima angpau dan menyediakan "kotak amal", tapi di situ diberi catatan bahwa angpau yang terkumpul itu akan disalurkan untuk kepentingan kaum papa. Bisa untuk beasiswa anak yatim, mendanai panti jompo, atau membantu pengadaan fasilitas pendidikan bagi kaum pinggiran.

Yang jelas, sangatlah tidak pantas orang yang sudah berkecukupan tetap menerima angpau, entah berapa pun jumlahnya. Masih banyak penduduk di negeri ini yang lebih pantas menerimanya. (*)

Selasa, Mei 13, 2008

Ibu-Ibu Amerika Gugat Vaksinasi

Jawa Pos, Selasa, 13 Mei 2008

Ibu-Ibu Amerika Gugat Vaksinasi

Berbahan Pengawet Thimerosal, Dituding Sebabkan Autisme

WASHINGTON - Pemberian vaksin kepada anak-anak yang bertujuan meningkatkan kekebalan tubuh malah dirasa bermasalah. Ibu-ibu di Amerika Serikat merasa bahwa vaksin dengan bahan pengawet thimerosal yang diberikan kepada anak-anak mereka telah memicu sindrom autisme.

Thimerosal adalah senyawa organomerkuri. Di AS, thimerosal biasa digunakan untuk antiseptik dan antifugal. Kandungan merkuri thimerosal bisa mencapai 49 persen.

Ibu-ibu yang merasa dirugikan kemarin mengajukan gugatan ke pengadilan. Pengacara mereka berusaha menunjukkan bahwa bahan pengawet yang menggunakan merkuri dapat memicu gejala autisme.

Sebagai bukti nyata, seorang anak laki-laki dari Portland, Oregon, akan menjalani serangkaian tes untuk membuktikan hal itu. Pengacaranya menyatakan bahwa bocah tersebut sebelum divaksinasi dalam kondisi sehat, bahagia, dan normal.

Tapi setelah divaksinasi dengan thimerosal, kondisinya mengalami kemunduran. Jika hal itu terbukti benar, ratusan keluarga tersebut akan mendapatkan uang kompensasi.

Secara keseluruhan, hampir 4.900 keluarga telah mengajukan klaim ke Pengadilan Federal AS (pengadilan yang menangani klaim melawan pemerintah AS, Red). Mereka menyatakan bahwa vaksin tersebut menyebabkan autisme dan masalah-masalah saraf pada anak-anak mereka.

Pengacara dari keluarga yang mengajukan gugatan menyatakan bahwa mereka akan menunjukkan bukti bahwa suntikan vaksin yang mengandung thimerosal menyebabkan endapan merkuri di otak. Zat merkuri tersebut telah membangkitkan sel otak tertentu yang memicu autisme sehingga anak cenderung acuh. "Di beberapa anak, ada cukup merkuri untuk membuat pola neuroinflammatory kronis yang dapat memicu penyakit autisme regresif," ujar Mike Williams, salah seorang pengacara para ibu tersebut.

Badan ahli khusus dari pengadilan telah menginstruksi penggugat untuk melakukan tes untuk membuktikan teori penyebab autisme tersebut. Mereka juga menunjuk tiga ahli untuk menangani kasus itu.

Tiga kasus di kategori pertama pernah didengar dan diajukan tahun lalu, namun sampai saat ini belum ada keputusannya. Kasus yang disidangkan kemarin difokuskan pada teori kedua tentang penyebab autisme.

Teori tersebut menyatakan bahwa thimerosal yang terdapat dalam vaksin menyebabkan autisme. Para pengacara keluarga itu berharap bisa meyakinkan para ahli bahwa thimerosal menyebabkan peradangan yang memicu autisme regresif.

Namun, banyak di antara anggota komunitas medis merasa skeptis terhadap klaim tersebut. Mereka takut klaim itu akan mengakibatkan beberapa orang tidak melakukan vaksinasi atas anak-anaknya. "Yang saya sayangkan adalah orang-orang yang antivaksin akan beralih dari satu hipotesis ke hipotesis berikutnya tanpa menengok kasus di belakangnya," ujar Dr Paul Offit, direktur pusat pendidikan vaksinasi di rumah sakit anak Philadelphia.

Sebenarnya, beberapa tahun belakangan thimerosal telah dihilangkan dari standar vaksinasi anak-anak, kecuali dalam vaksin flu yang tidak dikemas dalam satu dosis. Pusat pengendalian penyakit AS (Centers for Disease Control/CDC) menyatakan bahwa vaksin flu yang mengandung thimerosal hanya tersedia dalam jumlah yang terbatas.

Pada 2004, institut obat-obatan di AS telah mengadakan penelitian tentang penggunaan thimerosal dalam vaksin. Berdasar penelitian tersebut, tidak ada bukti-bukti nyata yang menunjukkan bahwa penggunaan thimerosal dapat memicu autisme pada anak-anak.

Meski demikian, ratusan keluarga yang menuntut mempunyai pendapat berbeda. Berdasar pengalaman, anak-anak mereka menderita gejala autisme setelah pemberian vaksin dengan thimerosal tersebut.

Website yang dirilis pengadilan menunjukkan bahwa lebih dari 12.500 klaim telah diajukan sejak program vaksinasi dengan thimerosal pada 1987. Dari keseluruhan klaim tersebut, 5.300 klaim adalah kasus autisme dan lebih dari USD 1,7 miliar (Rp 15,7 triliun) telah dibayarkan. Website itu juga menyatakan bahwa saat ini lebih dari USD 2,7 miliar (Rp 24,94 triliun) dana yang berasal dari pajak pertambahan nilai telah disediakan untuk meng-cover jika terjadi masalah dalam program vaksinasi. (AP/sha/ruk)

Minggu, Mei 11, 2008

NU dan Salah Kaprah

Jawa Pos, Minggu, 11 Mei 2008,

NU dan Salah Kaprah
Kurniawan Muhammad

Romli, kiai muda di sebuah pesantren kampung, suka sekali dengan humor dan pelesetan. Buku-buku tentang itu sengaja dia koleksi. Saat mengajari santrinya, sering dia menyelipkan kisah-kisah humor yang dibacanya sebagai selingan.

Suatu ketika, dia kirim SMS ke saya: "NU sekarang benar-benar sudah berubah…."
Saya membalas, "Berubah apanya kiai?" Tak berapa lama, dia kirim SMS lagi: "NU = Ndampingi Umara… NU = Nyalon Umara…."

Umara adalah pemimpin pemerintahan. Atau, dapat juga dikiaskan sebagai kepala daerah. Ndampingi Umara bisa juga diartikan mendampingi kepala daerah. Nyalon Umara berarti mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Sengaja dia membesarkan huruf N dan U dalam SMS-nya, dengan maksud untuk menyindir NU, yang belakangan ini sebagian elite-elitenya lebih sibuk ngurusi pilkada (pemilihan kepala daerah) ketimbang ngurusi umat.

Ada yang maju digandeng sebagai wakil (wakil bupati, wakil wali kota, dan wakil gubernur). Ada juga yang sangat pede maju sebagai kepala daerah (bupati, wali kota, dan gubernur).

Dalam pemilihan gubernur di Jawa Timur, elite-elite NU yang maju hampir lengkap. KH Ali Maschan Moesa, sebelumnya ketua PW NU Jatim, digandeng sebagai calon wakil gubernur, mendampingi Soenarjo, wagub sekaligus ketua DPD Golkar Jatim.

Saifullah Yusuf, ketua umum GP Ansor, digandeng Soekarwo, Sekdaprov Jatim. Khofifah Indar Parawansa, ketua umum PP Muslimat, maju sebagai calon gubernur, menggandeng Mudjiono.

Mungkin tidak ada pilgub di provinsi lain, yang elite-elite NU-nya sebergairah maju dalam pilkada seperti di Jatim.

Di PC NU Nganjuk lebih seru. Antara Rais Syuriah dan ketua Tanfidziyah sama-sama punya syahwat maju dalam pilkada. Keduanya pun sama-sama digandeng menjadi wakil bupati.

Banggakah warga NU jika para elitenya maju dalam pilkada? Pertanyaan ini pernah saya sampaikan kepada Kiai Romli yang menurut saya sangat NU itu.

Dia tak langsung menjawab. Tapi, malah menceritakan kepada saya tentang sebuah riwayat (hadis). Disebutkan dalam riwayat itu, suatu ketika Abbas bin Abdul Mutholib mendatangi Rasulullah SAW, yang juga keponakannya.

"Ya Rasulullah… Beri aku kekuasaan," kata Abbas.
Rasulullah menjawab, "Paman, embusan napas yang membuatmu hidup adalah lebih baik dari segala kekuasaan yang akan membawa kerugian dan penyesalan kelak di hari akhir. Kalau Paman dapat menghindari kekuasaan, lakukanlah…."

Mendengar cerita ini, saya bertanya lagi kepada Kiai Romli, "Mengapa para kiai NU belakangan malah berlomba-lomba mengejar kekuasaan?"

Dia hanya tersenyum. "Saya nggak akan komentar. Kalau saya ngomong keras, dianggap saya cemburu karena nggak kebagian… Jangan-jangan, kalau saya ditawari (maju pilkada), saya juga nggak kuat nahan."
***
Dalam sejarahnya, NU agaknya memang tak bisa jauh dari hiruk-pikuk politik. NU pernah menjadi partai politik dan perolehan suaranya cukup signifikan dalam Pemilu 1955 (urutan ketiga dengan perolehan suara sekitar 18 persen). Sebagai ormas terbesar di Indonesia, kekuatan NU selalu diperhitungkan dan selalu menjadi incaran para pelaku politik.

Apalagi di era sekarang ini, di mana partisipasi politik rakyat bisa dilakukan secara langsung.

Ketika Megawati Soekarnoputri menggandeng KH Hasyim Muzadi yang saat itu ketua umum PB NU untuk maju dalam Pilpres 2004, sesungguhnya tidak terlepas dari asumsi bahwa NU adalah bagian dari kekuatan penting yang harus dirangkul, jika ingin meraih kemenangan. Asumsi seperti itu sampai sekarang masih diyakini kevalidannya meski gagal dibuktikan oleh Megawati.

Menganggap NU masih sebagai "aset politik" yang sangat berharga, disadari atau tidak, telah membuat perilaku sebagian elitenya menjadi salah kaprah. Dulu, di setiap muktamar NU ataupun konferensi di tingkat cabang dan wilayah, para kiai berebut menolak jabatan (karena takut tidak amanah). Kini, yang terjadi adalah sebaliknya.

Untuk itu, muncul kesan bahwa jabatan struktural di NU sama empuknya dengan jabatan struktural di parpol. Karena itu, untuk meraih jabatan struktural di NU, caranya pun sama dengan meraih jabatan struktural di parpol. Benarkah?

Padahal, orientasi antara ormas dan parpol jelas sangat berbeda. Ormas berorientasi kepada umat, sedangkan parpol lebih pada kekuasaan.

KH Muchit Muzadi, salah satu kiai sepuh NU yang disegani, suatu ketika pernah menyindir perilaku para elite NU yang mulai "bergeser" itu. Kata dia, jika dulu, orang masuk NU karena ingin ndandani umat (memperbaiki umat), dalam perkembangannya, orang aktif di NU banyak yang sekadar nunut urip (menumpang hidup).
***
Jika negara ini diibaratkan sebuah taman, NU adalah bunga yang mencolok warnanya dengan mahkota yang sedap dipandang. Taman
itu akan kehilangan keindahannya jika sang bunga layu, apalagi sampai mati.

Agar bunga tetap indah warnanya dan tetap terjaga kesegarannya, yang mengurus bunga haruslah orang yang benar-benar telaten mengurus bunga. Tidak lupa menyiramnya dengan air setiap hari serta tidak lupa memberi pupuk.

Sudah saatnya para elite NU lebih memikirkan umat ketimbang hiruk-pikuk politik. Pekerjaan rumah yang jelas-jelas masih harus ditangani di sebagian besar warga NU adalah: problem kemiskinan dan kesenjangan pendidikan.

Warga NU mulai saat ini harus pinter-pinter memilih tokohnya. NU harus diurus oleh orang yang serius berkomitmen untuk memperbaiki umat.(kum@jawapos.co.id)