Kamis, Mei 15, 2008

KPK dan Angpau Pernikahan

Jawa Pos, Kamis, 15 Mei 2008,

KPK dan Angpau Pernikahan

Langkah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) memeriksa angpau pernikahan Ketua MPR Hidayat Nurwahid layak diapresiasi. Tentu, apresiasi serupa juga layak diberikan kepada Hidayat yang mengizinkan KPK memeriksa angpau yang dia terima. Dengan izin itu, dia telah memberikan ruang yang luas kepada KPK untuk masuk ke "ruang pribadinya".

Langkah KPK mapun kesediaan Hidayat merupakan dua hal yang sangat positif. Dua hal itu akan menjadi modal sangat penting dalam mencegah terjadinya gratifikasi dalam sebuah hajatan yang digelar seorang pejabat negara.

Memang, memberikan angpau kepada pejabat yang menggelar hajatan bukanlah satu-satunya jalan untuk memberikan hadiah. Memberikan angpau adalah cara "tradisional" dan "kurang elegan". Tentu ada cara lain yang lebih canggih dan lebih "terhormat". Yakni, dengan cara transfer rekening atau memberikan bantuan dalam bentuk membereskan ubo rampe hajatan, seperti membereskan biaya sewa tempat resepesi atau membayar biaya katering.

Meski demikian, mengawasi angpau yang dimasukkan ke dalam "kotak amal" tetaplah penting. Sebab, bisa saja seseorang memberikan angpau dalam bentuk cek atau uang tunai berbentuk dolar Amerika. Kendati sederhana -karena dimasukkan dalam amplop- nilainya bisa sangat besar.

Selain itu, konon, memang ada beberapa pejabat yang sengaja sering menggelar hajatan pernikahan dengan harapan mendapatkan angpau dari para kolega. Bahkan, saking rakusnya pejabat itu terhadap yang namanya angpau, saudara jauh pun -yang semestinya bukan menjadi tanggung jawabnya- dia nikahkan dan dia bikinkan resepsi pernikahan dengan undangan yang sangat banyak.

Kasus itu tentu terdengar sangat norak. Tapi, bukankah dalam masalah uang memang banyak orang yang berperilaku norak, bahkan supernorak? Karena itu, langkah KPK memeriksa "kotak amal" para pejabat yang menggelar hajatan nikah memang diperlukan. Kendati tidak sepenuhnya bisa menutup alur gratifikasi, setidaknya bisa mengurangi. Terutama bagi pejabat yang bertipe norak tersebut.

Idealnya, seorang pejabat -termasuk Hidayat- ketika menggelar resepsi pernikahan, membebaskan para undangan dari "kewajiban" membawa angpau. Yakni, dengan memberikan catatan di dalam undangan yang diedarkan agar para tamu tidak membawa angpau atau kado. Atau dengan cara tidak menyediakan "kotak amal" tempat angpau.

Memang, seperti yang disinggung Hidayat, dalam konteks Indonesia, memberikan angpau kepada sohibul hajat (tuan rumah) adalah sebuah tradisi yang sulit dihilangkan. Tapi, itu bukan berarti tidak bisa dihilangkan. Bagi orang-orang yang sudah berkecukupan materi -termasuk para pejabat- tradisi itu lebih baik ditiadakan. Sebab, spirit angpau adalah membantu atau meringankan beban si tuan rumah. Bila si tuan rumah sudah mampu, untuk apa dibantu?

Atau, bisa saja tradisi tersebut tetap dilestarikan, namun dikelola, dibelokkan untuk kepentingan kaum papa. Yakni, tetap menerima angpau dan menyediakan "kotak amal", tapi di situ diberi catatan bahwa angpau yang terkumpul itu akan disalurkan untuk kepentingan kaum papa. Bisa untuk beasiswa anak yatim, mendanai panti jompo, atau membantu pengadaan fasilitas pendidikan bagi kaum pinggiran.

Yang jelas, sangatlah tidak pantas orang yang sudah berkecukupan tetap menerima angpau, entah berapa pun jumlahnya. Masih banyak penduduk di negeri ini yang lebih pantas menerimanya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bahagia dan terima kasih untuk komentar yang diberikan...