Minggu, Mei 11, 2008

NU dan Salah Kaprah

Jawa Pos, Minggu, 11 Mei 2008,

NU dan Salah Kaprah
Kurniawan Muhammad

Romli, kiai muda di sebuah pesantren kampung, suka sekali dengan humor dan pelesetan. Buku-buku tentang itu sengaja dia koleksi. Saat mengajari santrinya, sering dia menyelipkan kisah-kisah humor yang dibacanya sebagai selingan.

Suatu ketika, dia kirim SMS ke saya: "NU sekarang benar-benar sudah berubah…."
Saya membalas, "Berubah apanya kiai?" Tak berapa lama, dia kirim SMS lagi: "NU = Ndampingi Umara… NU = Nyalon Umara…."

Umara adalah pemimpin pemerintahan. Atau, dapat juga dikiaskan sebagai kepala daerah. Ndampingi Umara bisa juga diartikan mendampingi kepala daerah. Nyalon Umara berarti mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Sengaja dia membesarkan huruf N dan U dalam SMS-nya, dengan maksud untuk menyindir NU, yang belakangan ini sebagian elite-elitenya lebih sibuk ngurusi pilkada (pemilihan kepala daerah) ketimbang ngurusi umat.

Ada yang maju digandeng sebagai wakil (wakil bupati, wakil wali kota, dan wakil gubernur). Ada juga yang sangat pede maju sebagai kepala daerah (bupati, wali kota, dan gubernur).

Dalam pemilihan gubernur di Jawa Timur, elite-elite NU yang maju hampir lengkap. KH Ali Maschan Moesa, sebelumnya ketua PW NU Jatim, digandeng sebagai calon wakil gubernur, mendampingi Soenarjo, wagub sekaligus ketua DPD Golkar Jatim.

Saifullah Yusuf, ketua umum GP Ansor, digandeng Soekarwo, Sekdaprov Jatim. Khofifah Indar Parawansa, ketua umum PP Muslimat, maju sebagai calon gubernur, menggandeng Mudjiono.

Mungkin tidak ada pilgub di provinsi lain, yang elite-elite NU-nya sebergairah maju dalam pilkada seperti di Jatim.

Di PC NU Nganjuk lebih seru. Antara Rais Syuriah dan ketua Tanfidziyah sama-sama punya syahwat maju dalam pilkada. Keduanya pun sama-sama digandeng menjadi wakil bupati.

Banggakah warga NU jika para elitenya maju dalam pilkada? Pertanyaan ini pernah saya sampaikan kepada Kiai Romli yang menurut saya sangat NU itu.

Dia tak langsung menjawab. Tapi, malah menceritakan kepada saya tentang sebuah riwayat (hadis). Disebutkan dalam riwayat itu, suatu ketika Abbas bin Abdul Mutholib mendatangi Rasulullah SAW, yang juga keponakannya.

"Ya Rasulullah… Beri aku kekuasaan," kata Abbas.
Rasulullah menjawab, "Paman, embusan napas yang membuatmu hidup adalah lebih baik dari segala kekuasaan yang akan membawa kerugian dan penyesalan kelak di hari akhir. Kalau Paman dapat menghindari kekuasaan, lakukanlah…."

Mendengar cerita ini, saya bertanya lagi kepada Kiai Romli, "Mengapa para kiai NU belakangan malah berlomba-lomba mengejar kekuasaan?"

Dia hanya tersenyum. "Saya nggak akan komentar. Kalau saya ngomong keras, dianggap saya cemburu karena nggak kebagian… Jangan-jangan, kalau saya ditawari (maju pilkada), saya juga nggak kuat nahan."
***
Dalam sejarahnya, NU agaknya memang tak bisa jauh dari hiruk-pikuk politik. NU pernah menjadi partai politik dan perolehan suaranya cukup signifikan dalam Pemilu 1955 (urutan ketiga dengan perolehan suara sekitar 18 persen). Sebagai ormas terbesar di Indonesia, kekuatan NU selalu diperhitungkan dan selalu menjadi incaran para pelaku politik.

Apalagi di era sekarang ini, di mana partisipasi politik rakyat bisa dilakukan secara langsung.

Ketika Megawati Soekarnoputri menggandeng KH Hasyim Muzadi yang saat itu ketua umum PB NU untuk maju dalam Pilpres 2004, sesungguhnya tidak terlepas dari asumsi bahwa NU adalah bagian dari kekuatan penting yang harus dirangkul, jika ingin meraih kemenangan. Asumsi seperti itu sampai sekarang masih diyakini kevalidannya meski gagal dibuktikan oleh Megawati.

Menganggap NU masih sebagai "aset politik" yang sangat berharga, disadari atau tidak, telah membuat perilaku sebagian elitenya menjadi salah kaprah. Dulu, di setiap muktamar NU ataupun konferensi di tingkat cabang dan wilayah, para kiai berebut menolak jabatan (karena takut tidak amanah). Kini, yang terjadi adalah sebaliknya.

Untuk itu, muncul kesan bahwa jabatan struktural di NU sama empuknya dengan jabatan struktural di parpol. Karena itu, untuk meraih jabatan struktural di NU, caranya pun sama dengan meraih jabatan struktural di parpol. Benarkah?

Padahal, orientasi antara ormas dan parpol jelas sangat berbeda. Ormas berorientasi kepada umat, sedangkan parpol lebih pada kekuasaan.

KH Muchit Muzadi, salah satu kiai sepuh NU yang disegani, suatu ketika pernah menyindir perilaku para elite NU yang mulai "bergeser" itu. Kata dia, jika dulu, orang masuk NU karena ingin ndandani umat (memperbaiki umat), dalam perkembangannya, orang aktif di NU banyak yang sekadar nunut urip (menumpang hidup).
***
Jika negara ini diibaratkan sebuah taman, NU adalah bunga yang mencolok warnanya dengan mahkota yang sedap dipandang. Taman
itu akan kehilangan keindahannya jika sang bunga layu, apalagi sampai mati.

Agar bunga tetap indah warnanya dan tetap terjaga kesegarannya, yang mengurus bunga haruslah orang yang benar-benar telaten mengurus bunga. Tidak lupa menyiramnya dengan air setiap hari serta tidak lupa memberi pupuk.

Sudah saatnya para elite NU lebih memikirkan umat ketimbang hiruk-pikuk politik. Pekerjaan rumah yang jelas-jelas masih harus ditangani di sebagian besar warga NU adalah: problem kemiskinan dan kesenjangan pendidikan.

Warga NU mulai saat ini harus pinter-pinter memilih tokohnya. NU harus diurus oleh orang yang serius berkomitmen untuk memperbaiki umat.(kum@jawapos.co.id)

1 komentar:

  1. bang Zam, saya dilahirkan dari leingkungan NU yg amat kental, tapi sungguh saya sering tidak paham dengan jalan fikiran para Nahdiyin itu.

    sebagai contoh tentang GD, kenapa ya ada orang yang begitu patuh tanpa pamrih bahkan cenderung mengkultuskan ? padahal Nabi Muhammad saja tidak mau dikultus-kan ?

    tentang ibu Khofifah IP, saya termasuk salah satu pengagumnya karena ia lugas dan cerdas, seperti pak Amin Rais.
    Sedikit terbesit kecewa juga nih ketika ibu Khofifah ikut2an di pilkada Jatim, tapi saya jg tetap mendoakan semoga beliau jadi pemenangnya.... walau...

    mari kita kembali ke Al Qur'an dan Sunnah Rasul, apapun dia paham/golongannya bukankah pd hakqikatnya Islam itu satu.

    Wassalam

    BalasHapus

Bahagia dan terima kasih untuk komentar yang diberikan...