Meskipun aku dan istri sering mengarahkan Nasywa untuk bisa menerima kehadiran adiknya sebagai sebuah anugerah yang akan membawa kesenangan bagi dia, tapi terkadang gambaran-gambaran yang aku dan istriku berikan tidak bisa begitu saja dia terima, terlebih saat rasa ngalem-nya muncul. Seperti halnya malam ini.
Selepas isya’ Umar sudah tertidur pulas di ruang TV dan Nasywa sudah mulai terlihat mengantuk.
“Ayo dikeloni Abi, tah?” tanyaku.
“Nggak, sama Ummi’ aja,” jawab Nasywa.
Segera istriku membimbing Nasywa ke kamar tidur.
“Tapi Ummi’ nggak mau pakai main dulu, langsung tidur,” kata istriku ke Nasywa yang dijawab dengan anggukan.
Aku sendiri tetap di ruang TV sambil menemani dan menjaga Umar dari gigitan nyamuk. Selang seperempat jam kemudian masih aku dengar suara Nasywa yang ternyata tetap asik bermain. Tidak lama kemudian istriku kembali ke ruang TV, sementara Nasywa masih di kamar tidur.
“Mas..,” sapa istriku.
“Apa?”
“Itu tadi di kamar sambil tak peluk adek bilang ke Nasywa, Ummi’ sayang sama Nasywa. Terus dia tak tanya balik, Nasywa sayang juga sama Ummi’..?”
Istriku menata duduknya dan melanjutkan ceritanya.
“Nasywa menjawab, sayang, apalagi kalau gak ada dedek..”
Aku tertawa kecil mendengar cerita istriku. Dalam benakku juga berfikir, ternyata masih banyak yang harus aku dan istri lakukan untuk bisa memberi pengertian kepada Nasywa betapa sangat berartinya kehadiran Umar bagi semuanya.