Jumat, Desember 19, 2008

Kiss Goodbye, Mr President


Jawa Pos, Jum'at, 19 Desember 2008

Amerika Serikat merupakan negara-bangsa yang mempunyai musuh terbanyak di dunia. Para presidennya pun adalah sekumpulan petinggi nasional yang paling sering dikecam penghuni muka bumi. Kita tidak tahu pasti, apakah ada presiden Amerika yang pernah dicoba dihabisi dengan cara disantet, diteluh, diguna-guna, atau cara-cara klenik lain. Tapi, tak dapat dimungkiri, negeri Paman Sam itu tercatat sebagai negara dengan jumlah presiden yang paling banyak dibunuh.

Presiden Abraham Lincoln tewas ditembak simpatisan Konfederasi, John Walker Booth. Nyawa James A. Garfield pun tak tertolong, setelah ditembus peluru pengacara bernama Cahrles J. Guiteau. Presiden lainnya, William McKinley, juga tewas di tangan anarkis, Leon Czolgosz. John F. Kennedy setali tiga uang, habis riwayatnya dirobek peluru karyawan biasa, Lee Harvey Oswald. Sebelumnya, Kennedy juga nyaris tewas dihajar oleh pelaku bom bunuh diri.

Booth, Guiteau, Czolgosz, dan Oswald bukan orang-orang non-Amerika. Itu artinya, Amerika bukan hanya menghadapi musuh dari negara-negara lain, tetapi juga dibenci warganya sendiri.

Jika ditambah dengan nama-nama presiden yang mengalami percobaan pembunuhan, deret nama di atas akan lebih panjang. Ada Andrew Jackson, Theodore Roosevelt, Franklin D. Roosevelt, Harry S. Truman, Richard Nixon, Gerald Ford, Jimmy Carter, Ronald Reagan, George Bush, dan Bill Clinton.

Belum selesai. Zachary Taylor dan Warren G. Harding adalah dua presiden Amerika yang kematiannya diduga juga akibat pembunuhan. Selain itu, jika dokumen-dokumen rahasia dinas keamanan Amerika dibuka lebar-lebar, sangat mungkin ada sekian banyak nama presiden Amerika lagi yang pernah berhadapan dengan ancaman dan percobaan pembunuhan.

Bagi manusia, memang tidak ada yang menyenangkan, apakah itu ditembaki peluru atau dilempari sepatu. Tapi, sebagai presiden, walaupun berisiko mati, ditembus peluru musuh rasanya tetap lebih terhormat daripada ditimpuki sepatu.

Saat seorang presiden tewas dirobek peluru, dunia akan terperanjat. Memang mengenaskan, tapi setidaknya masyarakat akan tercenung, "Butuh butiran pelor untuk menghabisi nyawa seorang kepala negara." Jika dikemas lewat propaganda politik yang dahsyat, si presiden (baca: si korban, si pecundang) bisa beralih paras menjadi pahlawan. Citra adidaya Amerika pun kian membahana.

Aksi-aksi pembunuhan atas presiden Amerika juga telah mengilhami para seniman dalam berkreasi. Lagu dan film tentang tragedi yang menimpa kepala negara Paman Sam tak terbilang banyaknya. Jadi, ringkas cerita, sepanjang penembakan atas diri si presiden dilakukan dengan menggunakan peluru, profil si presiden justru melambung. Kejadiannya pun menginspirasi berbagai kalangan.

Mempermalukan

Lain situasinya kalau si presiden sebatas dilempari sepatu. Benda yang dikenakan pada bagian paling bawah tubuh manusia justru disasarkan ke bagian tubuh paling atas manusia. Dengan melayangkan sepatu, si pelaku bukan ingin menghabisi nyawa si tuan presiden yang terhormat, tapi sebatas ingin mempermalukan manusia memuakkan di hadapannya. Dunia pun bukan terguncang, justru tertawa terpingkal-pingkal. Mau dikosmetik dengan pulasan seelok apa pun, si presiden tetap terkesan sebagai dakocan. Dakocan dengan spesialisasi jurus mengelak, setidaknya.

Itu yang terjadi pada Presiden Amerika Serikat George Walker Bush. Dua sepatu yang ditimpukkan ke arah Bush ibarat bingkisan akhir tahun sekaligus kado akhir masa jabatan yang luar biasa menyakitkan hati.

Kejadian pelemparan sepatu di Baghdad seperti antitesis terhadap realita yang digambarkan Russell F. Farnen (1990), akademisi dari University of Connecticut. Dalam tulisannya, Farnen menyebut Amerika Serikat sebagai negara dengan sejarah yang dipenuhi darah kekerasan. Sejak diproklamasikan sebagai negara baru, sepertiga waktu di antaranya ditandai oleh keterlibatan negara ini dalam ajang perang, baik yang dideklarasikan maupun yang tidak dideklarasikan. Dan, hingga kini, adalah Amerika negara penjual senjata terbesar di dunia. Perkasa nian!

Sepantasnya, bukan hanya dunia yang terpingkal-pingkal setiap kali menyaksikan tayangan ulang tentang dua sepatu yang menyasar jidat Bush. Rakyat Amerika Serikat yang cinta damai juga punya alasan untuk bersulang, karena itulah trofi paling indah bagi presiden yang selama perang Iraq saja telah membuat 4.119 tentara Amerika mati sia-sia dan hampir tiga puluhan ribu lainnya luka-luka.

Ya, untuk presiden sekaliber Bush, alas kaki tampaknya lebih pantas ketimbang timah panas. Presiden terburuk sepanjang sejarah negeri 'adikuasa' itu memang tidak perlu dikirim ke alam baka. Membuat dia sebagai sosok paling hina di dunia pun sudah lebih dari cukup, rasanya.

So kiss my ... shoes, Mister Bush!

Reza Indragiri Amriel, mantan Ketua Delegasi Indonesia Program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia

Selasa, Desember 16, 2008

Aduh..!! Ada Yang Tak Kenal Siapa George W. Bush Sebenarnya

Baru saja meletakkan nampan makan siang di meja kantin tempatku bekerja. Belum sempat memasukkan suapan pertama, televisi yang tidak jauh dari tempat dudukku menyajikan kelanjutan berita pelemparan sepatu oleh jurnalis Irak ke arah Presiden Amerika George W. Bush. Beberapa pasang mata juga menyaksikan dan sekilat kemudian terdengar komentar beberapa orang dari yang serius sampai yang dengan nada canda. Namun satu yang membuatku kaget.

“George Bush salah apa sih, Pak?” tanya gadis berjilbab pendek yang duduk tidak jauh dari tempatku sambil melirik televisi yang ada di belakangnya.

“Masak kamu ndak tahu?” kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan balik.

Semula ketidaktahuannya aku anggap hanya sekitar momen pelemparan sepatu itu saja, ternyata setelah aku tanya lebih jauh, bisa dikata dia tidak tahu sama sekali sepak terjang Presiden Amerika ke-43 itu selama hampir 8 tahun masa kekuasaannya.

Ironi.

http://www.youtube.com/watch?v=VFX-dKpcDz8
http://www.youtube.com/watch?v=ovoTgUCf7_E
http://www.youtube.com/watch?v=NuyzA5dT5Kk

Rabu, Desember 10, 2008

Pemborosan ala Telkom Flexi


“Kartu berlangganan TelkomFlexi anda akan memasuki masa tenggang pada tanggal........,” suara merdu perempuan menyapa lewat handphone CDMA-ku.

Masa tenggang yang disebut “Karyawati” PT. Telkom itu masih 9 (baca: sembilan) hari lagi...!!! Dan itu akan selalu terdengar setiap hari saat pertama mencoba melakukan panggilan telepon sampai masa tenggang diperpanjang dengan “memberi makan” pulsa.

Risih juga rasanya kalau dalam sembilan hari ke depan harus mendengarkan warning itu. Ada kesan bahwa selaku konsumen dipaksa untuk segera belanja pulsa. Ya, kalau memang pulsa sudah mau habis, tapi kalau nilai rupiah masih cukup untuk kebutuhan sampai masa tenggang berakhir, tentu sebuah pemborosan tersendiri.

Belum lagi penggunaan energi listrik untuk mendengarkan pesan berdurasi 10 detik lebih, meskipun hanya beberapa mW, tapi kalau diakumulasi dalam hitungan hari tentu menambah pemborosan itu sendiri.


Selasa, Desember 02, 2008

Pemutih Kulit

Tadi malam sepulang kerja Nasywa menagih janjiku untuk membelikan jagung bakar. Setelah merendam seragam kerja yang akan aku pakai hari Rabu nanti dan belum sempat aku cuci di hari libur kemarin, berdua aku dan Nasywa pergi ke Pasar Plastik, sebutan deretan warung tenda di dekat alun-alun Kota Batu. Ternyata pedagang jagung bakar yang dulu mangkal di tengah-tengah Pasar Plastik tidak aku temukan. Akhirnya aku menuju ke arah barat Jalan Panglima Sudirman dan aku temukan pedagang jagung bakar di pojok SDK Sang Timur.

Selesai membeli jagung bakar dalam perjalanan pulang mampir ke toko kelontong untuk membeli diapers. Setelah mendapatkan yang aku cari, bergegas aku keluar toko menuju arah motorku terparkir. Belum sempat beranjak jauh dari dalam toko, Nasywa balik kanan menghampiri etalase toko.

“Nanti kalau abi sama ummi’ sudah meninggal aku mau beli ini,” kata Nasywa sambil menunjuk produk pemutih kulit yang sering diiklankan di televisi.

Setelah bisa menguasai diri karena sempat terkejut dengan kalimat Nasywa barusan, aku bertanya.

“Kenapa harus menunggu abi dan ummi’ meninggal untuk membeli itu?”

“Ya biar abi sama ummi’ nggak tahu,” jawab Nasywa.

“Terus buat apa beli itu?” kembali aku bertanya.

“Biar tambah putih.”