Minggu, Juli 13, 2008

Kembali Jadi Wong mBatu

Setelah lebih dari 5 tahun tinggal di Pasuruan, 10 tahun sebelumnya di Surabaya dan Nganjuk, maka mulai malam ini aku kembali menjadi Wong mBatu.

Besok akan menjadi salah satu hari yang bersejarah dalam kehidupan kami, terutama untuk istriku, karena keinginannya selama ini untuk melanjutkan pendidikan S2 akan segera terwujud. Mulai besok istriku akan menempuh program pasca sarjana di Universitas Brawijaya Malang.

Untuk itu, agar lebih dekat dengan tempatnya menuntut ilmu, maka aku pulang lagi ke rumah dimana aku dibesarkan. Aku berharap untuk sementara waktu saja, semoga ridho Allah SWT seiring keinginanku untuk bisa tinggal di rumah sendiri. Amin yaa robbal ‘alamin...

Jumat, Juli 11, 2008

Celaka 13!

Jawa Pos, Jum'at, 11 Juli 2008

Celaka 13!

Oleh A. Mustofa Bisri *

Sejak PKB dideklarasikan, saya selalu disebut-sebut sebagai salah seorang deklarator; bahkan tidak jarang foto saya ikut mejeng di belakang gambar Gus Dur di baliho-baliho atau spanduk-spanduk. Kabarnya, kemarin di MLB Parung maupun Ancol pun terpasang spanduk yang juga ada gambar saya.

Meskipun saya tidak hadir di Ciganjur saat deklarasi PKB yang konon sangat meriah, dulu saya diam saja disebut-sebut sebagai salah satu deklarator. Saya pikir, wong hanya begitu saja; lagi pula deklarator disebut-sebut kan sebelum ada muktamar. Nanti kalau sudah ada muktamar kan tidak akan disebut-sebut lagi.

Ternyata, saya salah. Sampai 7 (tujuh) kali muktamar PKB (kebanyakan muktamar luar biasa), nama saya sebagai deklarator masih disebut-sebut.

Semula PKB kompak dan hasilnya lumayan. Namun, mungkin karena hasilnya lumayan itulah, kekompakannya mulai terganggu.

Misalnya, mulai timbul kubu-kubuan. Mulai kubu Gus Dur/Alwi v kubu Matori; kubu Gus Dur/Alwi v kubu Saifullah/beberapa kiai; kubu Gus Dur/Muhaimin v kubu Saifullah/Anam/Alwi/beberapa kiai; sampai terakhir kubu Gus Dur/Yenny/Ali Masykur v Muhaimin cs.

Saya pun mulai malu dan dari saat ke saat semakin malu dikait-kaitkan dengan pendeklarasian PKB. Klimaksnya adalah menyaksikan tontonan perkelahian telanjang Yenny dengan Muhaimin di depan para pimpinan partai dan khalayak Indonesia. Maka, sebelum amplop nomor undian PKB dibuka, saya pun sudah ingin nyeletuk: "Celaka 13!"

Sebelumnya, saya terheran-heran mendengar komentar dari DPP PKB yang menyatakan kaget jago PKB di Pilgub Jawa Tengah kalah. Saya terheran-heran kok ya ada pimpinan PKB yang kaget mendengar calon PKB kalah; wong calon-calonnya sendiri tidak kaget. Berarti memang ada pimpinan PKB di atas yang tidak mudheng dengan kondisi riil di bawah.

Pantas saja mereka seperti tidak prihatin dengan kebingungan konstituen mereka sendiri di bawah dan dengan ndableg-nya terus bertikai yang entah berebut apa.

Tiba-tiba saya teringat analisis seorang kawan yang melihat Gus Dur /PKB dari prespektif "kewalian". Dia memulai dengan menceritakan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir.

Seperti dikisahkan dalam kitab suci Alquran, Nabi Musa tidak kunjung paham dengan apa yang dilakukan Nabi Khidir sebagai orang yang akan diikutinya. Berkali-kali Nabi Musa yang ilmunya "baru" syariat menegur dan mengecam apa yang dilakukan Nabi Khidir yang berilmu hakikat. Melihat Nabi Khidir merusak perahu nelayan yang ditumpanginya, Nabi Musa kontan menegur dengan nada menyalahkan. Melihat Nabi Khidir membunuh anak kecil, Nabi Musa menegur dan mengecam.

Pun juga melihat Nabi Khidir memperbaiki dinding orang yang akan roboh, Nabi Musa menegur dan mengecam. Akhirnya, Nabi Khidir pun mengucapkan selamat berpisah kepada Nabi Musa.

Intinya, kawan saya ini ingin menganalogkan apa yang dilakukan Gus Dur dengan apa yang dilakukan Nabi Khidir dan ketidakpahaman orang dengan ketidakpahaman Nabi Musa.

''Kalau kiai-kiai yang dulu mati-matian mendukung Gus Dur itu paham, mereka tidak akan mendirikan partai baru,'' katanya. ''Mereka mendirikan partai baru karena jengkel dengan kelakuan awur-awuran Gus Dur dalam memimpin PKB. Padahal, Gus Dur memang sengaja membuat mereka jengkel agar mereka benci dan meninggalkan kehidupan kepartaian yang awur-awuran.''

''Sekarang ini,'' kata si kawan melanjutkan "analisis''-nya, ''justru menjelang Pemilu 2009 Gus Dur seperti sengaja membunuhi anak-anaknya sendiri dan merusak perahunya yang bernama PKB. Karena ''perahu'' itu milik orang-orang miskin; jangan sampai dirampas dan dipakai oleh orang-orang yang hanya ingin memperkaya diri, termasuk anak-anaknya sendiri."

Meskipun analisis itu kedengaran konyol dan ngoyoworo, melihat kelakuan para pimpinan PKB yang sama-sama ngotot berebut benar sampai saat ini dan mengingat semakin dekatnya jadwal pemilu, saya kok jadi khawatir: jangan-jangan... Wah, celaka tiga belas!

*. KH Mustofa Bisri , pengasuh pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang. Dikenal sebagai budayawan dan tokoh senior NU

Rabu, Juli 02, 2008

Mbah Uyut

Baru saja membicarakan pengaturan lembur nanti sore dengan salah satu foreman-ku, hp-ku berdering. Ada nama kakakku di layar handphone.

“Assalamu’alaikum,” sapaku sesaat setelah memencet tombol terima.

“Wa’alaikum salam,” jawab lawan bicaraku yang ternyata keponakanku, Anis.

“Mas, Mbah Uyut gak ono,” lanjutnya.

“InnaliLlahi wa inna ilaihi roji’un,” responku yang kaget mendengar kabar duka.

Bergegas aku merapikan meja kerjaku setelah sebelumnya meminta maaf ke Agus agar masalah lembur disampaikan saja ke atasanku karena aku harus segera pulang.

Mbah Uyut adalah panggilan nenekku dari ibu yang meninggal di usia 96 tahun.

Salah satu yang paling aku ingat dengan Mbah Uyut, adalah saat kelas 1 SMA dulu di akhir tahun 1980-an. Bagaimana beliau berkorban untukku dengan menjual sebagian perhiasannya untuk dibelikan mesin ketik buatku.

Selamat jalan, Mbah. Do’a kami mengiringi, semoga segala amal kebaikan Mbah diterima Allah SWT dan semua dosa dan kesalahan diampuniNya.

Amin.