Senin, April 28, 2008

Kartini di Taman Kota

Radar Bromo, 27 April 2008

Kartini di Taman Kota

Kaji Karno – Seniman dan Budayawan Pasuruan

Di keredupan lampu-lampu Taman Kota, nyaris muram, di sela-sela desir angin malam yang berkolaborasi dengan suara cekikikan di sana-sini, "Kartini-Kartini" yang berusia es-em-pe telah menjadi modern, dipangku -oleh tentu saja- laki-laki pasangannya yang juga berusia es-em-pe. Ya Allah…

Persamaan hak telah dipraktikkan. Emansipasi telah menemukan bentuknya. Siapa yang protes, akan dihardik oleh "nyonya-nyonya modern". Indonesia bukan negara agama (Islam), oleh karenanya dalam beragama, kefanatikan (terlalu cinta kepada Islam) tidak diperkenankan. "Dilarang melawan setan".

"Wanita dijajah pria sejak dulu," Begitu sebaris syair lagu berjudul Sabda Alam yang dilantunkan Rien Jamaien yang ditingkah oleh irama jazz.

Nasib jelek wanita sepanjang zaman tidak pernah habis diperbincangkan, digubah dalam syair lagu, puisi, novel, dan sebagainya itu juga melahirkan perasaan simpati maupun empati (juga) sepanjang zaman. Biang keladi dari semua nasib jelek wanita adalah akibat dari system patriarkhat, sistem kemasyarakatan yang didominasi oleh kaum laki-laki. Itupun ternyata tidak benar. Sebab, banyak gedibal perempuan yang dianiaya oleh daoke-nya yang juga berjenis perempuan.

Negeri-negeri Skandinavia adalah negeri yang paling bersemangat memperjuangkan nasib perempuan. Untuk pengeluaran sector public spending (tunjangan anak, tunjangan-tunjangan sosial, sekolah, dan terutama day care center) pemerintah merogoh kocek GNP hampir mencapai 50 persen. Bandingkan dengan anggaran pendidikan Indonesia sebesar 20 persen, itupun cuma wacana.

Untuk melindungi perempuan dari kewajiban mengasuh anak-anak, pemerintah negara-negara Skandinavia membangun day care center (tempat penitipan anak) secara besar-besaran. Memang dengan adanya TPA tersebut perempuan telah bebas dan memperoleh kesetaraan gender. Tetapi kemudian tidak lucu ketika yang ngurus tetek bengek anak-anak di TPA adalah………perempuan juga. Waaaa

Untuk perkara perempuan, pemerintah Indonesia yang paling beruntung. Sebab, para perempuannya sudah bebas sak karepe dewe, tanpa system welfare state, dan tidak ’otak-atik’ GNP.

Kawasan yang oleh kebanyakan orang Pasuruan disebut Taman Kota itu sebenarnya bukan taman kota. Justru Taman Kota asli terletak di depan kantor polisi bagian lalu-lintas, utara rumah makan Sarinah.

Di zaman Pemerintahan Kolonial Belanda, tempat itu (emak saya menyangka taman-kota) merupakan bagian satu paket dengan gedung Harmonie (sekarang gedung Yayasan Untung Suropati). Sesuai dengan nama klub pejabat tinggi Belanda, Harmonie, diresmikan pada tahun 1815 oleh Raffles. Di Hindia Belanda, gedung Harmonie hanya dibangun di dua kota saja yaitu di Batavia, dan di Pasuruan. Weeehh….!

Bagaimana? Ada rencana dirobohkan untuk dibikin ’plaza untung suropati’?

Setiap gaya hidup para elite pasti memerlukan pranata-pranata sosial yang berbeda dengan kaum awam. Pejabat Belanda mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang kelak ditiru oleh "kaum hidung-pesek".

Setiap malam minggu berkumpul di gedung Harmonie bermain bola-sodok (biliard). Dari istilah bola-sodok, nama gedung Harmonie mengalami morfologi bahasa menjadi gedung "kamar-bola". Sedangkan noni-noni dan sinyo-sinyo pada malam hari dansa-dansi di tempat yang disangka taman-kota itu. Siang harinya dipergunakan oleh Ladies Lawn Tennis Club untuk -tentu saja- bermain tennis.

Tidak di zaman doeloe maupun di zaman sekarang, baik pejabat londo mau pejabat Melayu, pasti suka plesir. Karena di zaman londo tempat seperti Tretes, dan Batu Malang belum lahir, maka pada setiap akhir bulan para kerabat pejabat plesir ke kota tertinggi di Jawa, yaitu Tosari Pasuruan.

Nah, kembali ke Taman Kota. Jika sekarang dipakai untuk ’pacaran anak baru gede’ pada hemat saya, rasanya kok dengan begitu generasi hidung pesek sawo matang melanjutkan budaya bangsa kulit putih dan berhidung mancung yang pernah mengeksploitasinya. Hanya bedanya, noni-noni Belanda bergaun panjang yang dapat menyapu lantai dansa.

Betulkah yang diperjuangkan Raden Ajeng Kartini tentang persamaan hak itu agar perempuan itu bebas tanpa dibatasi oleh kaidah-kaidah, norma, nilai budaya, dan agama, termasuk cekikikan di Taman Kota? Atau wanita bebas berpakaian, dan tidak dibatasi oleh Undang-Undang Pornografi, dan Pornoaksi (rencananya)? Di Barat yang kalau kita lihat di film-film begitu bebasnya, ternyata masyarakatnya dapat membedakan antara gaun pelacur dengan gaun perempuan baik-baik. Wanita terdidik tidak akan berdandan seperti ’pelacur’. Di Amerika ada polisi-susila. Di Indonesia, dan di Pasuruan kumahak, daramang?

Peringatan hari lahir Raden Ajeng Kartini cuma yahanno, hanya untuk pantes-pantesan, dan materi acaranya tidak ada hubungannya dengan yang diperjuangkan Kartini, baik dalam pengertian mathesis apalagi memisis maupun semiosis.

Ambillah nyawaku tetapi jangan ambil penaku Ujar R.A Kartini. Beliau memperjuangkan agar perempuan Indonesia pinter, gemar membaca, bermartabat, bermoral, mempunyai harga diri. Dalam awal-awal korespondensinya dengan gerakan wanita Eropa memang Kartini sangat radikal, seakan-akan melawan kodrat kewanitaannya, dan dalam tingkat tertentu Kartini keblabasan dengan mengatakan: "….Alangkah baiknya jika tidak ada agama"

Tetapi setelah kawin dengan Bupati Rembang yang mempunyai 7 anak, dan tiga istri, seperti yang ditulisnya kepada nyonya Abendanon, Kartini berbalik menjadi ’perempuan’. Kartini begitu bahagia menunggu kedatangan ’jabang-bayi’. Hari-hari penantian itu diisinya dengan menyulam, menyiapkan pakaian bayi, ’popok’, ’grendo’, dan lain sebagainya. Kartini menyiapkan generasi yang bermutu, ber SDM tinggi sekalipun harus mengorbankan egoismenya, meninggalkan, dan menghapus pandangan-pandangan radikalnya. Kesetaraan gender Kartini didasari oleh rasa kasih-sayang, bukan kesetaraan yang didasari oleh rasa ’kebencian’ terhadap laki-laki hanya lantaran dilahirkan berjenis laki-laki.

”Kartini” sempat menangis di taman-kota Pasuruan menjelang subuh. Melihat sekeliling, melihat ’guru-guru perempuan’, perempuan-perempuan di kantor-kantor pemerintah, mengamati perempuan yang menjadi ’panitia hari Kartini’, tidak satupun dari mereka yang meneruskan kegemaran Kartini yang suka membaca. Sementara, ‘kartini-kartini’ berusia es-em-pe masih cekikik-an di ‘taman-kota’ merasa aman.

Dan memang, di Pasuruan tidak ada polisi amar ma’ruf nahi munkar.

Jumat, April 11, 2008

Semangat Baru

Selepas maghrib sampai menjelang isya’ kemarin malam tidak henti-hentinya Umar “pamer” sudah mulai bisa berdiri sendiri tanpa berpegangan...

Jatuh... bangun lagi... jatuh... bangun lagi...

Apalagi ada dorongan semangat dari aku, ummi' dan kakaknya…

“Ayo, dek, berdiri... berdiri...!!!” bergantian kami bertiga menyemangatinya.